A Different Love

Dania,,

                Namaku Ramadhania Aisyah Wijayanti, dan teman-temanku sering memanggilku Dania atau Nia. Aku dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki keislaman yang cukup kental. Jadi, tak heran apabila akupun mengenakan jilbab baik dirumah maupun di luar rumah.
                Tahun ini merupakan tahun yang menyesakkan. Aku harus berpisah dengan sahabat-sahabatku SMA untuk melanjutkan mimpi kami yang berbeda. Dian, ia memiliki impian untuk menjadi arsitek yang handal. Lalu Fatma, ia juga memiliki impian untuk menjadi ahli farmasi. Kemudian, Tria dan aku yang sama-sama berkeinginan untuk menjadi ahli gizi.
                Dan tepat pada hari ini, sekolah kami mengadakan wisuda, “Eh, liat! Itu Nia?” tanya Tria yang berdiri di depan pintu gedung wisuda sambil menunjukku kaget. “Ah, iya! Itu Nia! Nia!” seru Dian yang melambaikan tangan padaku. Akupun melambaikan tanganku dan mendekati mereka. “Wah, kalian cantik ya” pujiku. “Kamu juga Ni, beda banget kamu! Bener deh!” puji Fatma yang disertai anggukan Dian dan Tria. Lalu, kami mengikuti wisuda hingga akhir dengan suasana yang begitu khidmat.
                Tiga bulan menuju ospek akan segera tiba, dan kami berempat pun merencanakan pertemuan sebelum masing-masing dari kami sibuk dengan kegiatan di kampus. “Fatma! Pasti Fatma yang paling lama” gerutu Dian. “Hihi, itu sudah hal yang biasa, Dian.” jawabku. “Menunggu lagi, menunggu lagi” sahut Tria malas. “Oh, iya kalian berdua jadi satu kampus?” tanya Dian. Aku dan Tria menganggukkan kepala. “Hanya saja kita beda fakultas. Nia di fakultas ilmu komputer dan aku di fakultas ekonomi bisnis” kata Tria. “Lho? Bukannya kalian..?” tanya Dian. “Kalian ingin masuk ahli gizi maksudmu?” sahutku memotong perkataan Dian. “Kami gagal seleksi tertulis yan. Jadi, mau gimana lagi?” ujarku datar. “Lalu mengapa kalian nggak ambil jurusan yang selaras dengan impian kalian? Kalian di Universitas mana sih?” tanya Dian lagi. “Universitas DreamNavel” sahutku. “Bukankah disana juga ada jurusan Kesehatan Masyarakat?” tanyanya lagi. “Disana, kualitas pendidikan kesehatan masyarakatnya masih buruk yan” sahut Tria.
                Tak lama kemudian Fatma datang, ia menghampiri kami yang sedang duduk di teras rumah Tria. “Maaf, kawan.. Lagi-lagi aku terlambat, ya?” kata Fatma sambil menggarukkan kepalanya. “Sudah biasaaa” jawab kami secara serempak dan nada sinis. “Ayo, berangkat sekarang! Kita pakai mobilku saja.” potong Tria. Ketika di dalam mobil, kami berempat terus bercerita tentang masa-masa kita di SMA dulu. Hingga, tak terasa kami telah sampai di tempat tujuan kami. Bluemoon Mall. Salah satu mall terbesar di kota kami. Biasanya, kami menghilangkan penat kami disini.

Dream Of Prince

                Baru saja, kita berjalan masuk ke mall, ada seorang lelaki bertubuh tinggi kurus yang membawa begitu banyak kado dan hampir menabrak kami. Kami pun menghindarinya. Namun, ketika aku menghindarinya dengan bergeser ke kanan, ia malah ikut bergeser ke kanan. Dan tabrakan diantara kami pun tak terhindarkan. Kado-kadonya pun berjatuhan. Aku segera berdiri dan meminta maaf, “Maaf, saya tak bisa mengenali pergerakanmu” kataku sambil membantunya memberesi kadonya. Namun, si lelaki ini tak menjawab apapun. Dia hanya fokus ke kado-kadonya. Sekali lagi aku coba untuk meminta maaf, “Skali lagi saya minta maaf” sambil memberikan kadonya yang terakhir. Dan ia hanya menganggukkan kepalanya tanpa menoleh ke arahku. Lalu, ia pergi begitu saja. Tanpa kusadari, aku telah memandanginya begitu lama dari belakang. “Hey! Dia sudah jauh Nia” ujat Fatma dengan menepuk pundakku. “Ah, iya. Apa dia begitu marah padaku karena telah menjatuhkan kado-kadonya tadi?” tanyaku. “Fiuh, yang salah siapa yang minta maaf siapa? Kamu aneh Denia” ujar Tria sambil menghela nafas. “Lagian kamu berlebihan Dania, kamu dan dia hanya bertabrakan. Tidak ada yang terluka juga. Kenapa kamu sekhawatir itu?” sela Fatma. “Dania, dania” sahut Dian kemudian sambil menggelengkan kepalanya. “Yasudah, ayo kita jalan lagi” ujar Fatma. Kami pun berjalan lagi menuju pujasera resto yang ada di mall itu. “Kita makan disana saja bagaimana? Lagi promo tuh” kata Tria sambil menunjuk salah satu resto sushi. Aku, Dian dan Fatma mengangguk setuju dan langsung menuju ke resto itu.
                Namun, alangkah terkejutnya kami ketika melihat waiter itu mirip sekali dengan lelaki yang bertabrakan denganku tadi. Pada saat yang sama, ia juga menghampiri kami dan menebarkan senyumnya yang memesona sambil memberikan menu makanannya. Tiba-tiba saja aku beranjak dari tempat dudukku dan meminta maaf, “Skali lagi maafkan aku” kataku padanya. Dia dan teman-temanku terkejut sekaligus bingung melihat tingkahku. “Ayo, duduk. Memangnya kamu yang salah? Lagian siapa tahu dia bukan laki-laki yang tadi? Tapi andaikata iya pun, kamu tak perlu minta maaf. Orang dia yang salah!” bisik Fatma sambil memintaku duduk. Lelaki itu memandangiku heran. Aku hanya menutup wajahku malu namun masih merasa bersalah. “Maaf, kalau boleh saya tahu, apa tadi kamu bermasalah dengan saudara kembar saya?” tanyanya lembut. Aku melepaskan tanganku dan memandangnya sebentar. “Ha? Itu bukan anda?” tanyaku tak percaya. “Dania, kamu berlebihan deh! Maaf ya mas. Dia memang suka berlebihan” kata Dian sambil sedikit menundukkan kepalanya tanda permintaan maaf. “Tidak apa-apa. Lagipula saya memang punya saudara kembar. Namun, ia tidak bekerja paruh waktu disini. Tapi di restoran itu” kata laki-laki itu sambil menunjuk salah satu restoran di dekat kami. “Apa dia membuatmu merasa tak enak hati?” tanyanya. Namun, aku masih terdiam. Entah aku memang tertarik padanya atau bagaimana.
                Masih dalam lamunanku, ia bertanya lagi “Apa dia telah membuat anda merasa tak nyaman? Kalau iya maafkan dia ya. Dia memang sulit untuk mengatakan kata maaf. Karena dia memang orang yang cenderung tertutup.” Aku tetap terdiam, hingga Tria menyikut siku ku. “Hey, dia bertanya padamu!” bisiknya. “Ah, tidak. Kami hanya tidak sengaja saling bertabrakan di lantai dasar tadi” kataku sambil tersenyum. Dan dia pun membalas senyumanku. Begitu manis, dan tak disangka aku telah terperangkap dalam pesonanya.

Saudara Kembar..?

                Dua bulan kemudian, aku dan ketiga sahabatku mulai jarang berjumpa. Dan di perguruan tinggi ini aku mulai memiliki teman dekat baru. Ayu dan Iska. Suatu ketika, kami bertiga sedang mengikuti mata kuliah bahasa Inggris.
                “tok..tok..tok..” Ada seorang mahasiswa yang mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam kelas, “excuse me miss., may i following your lesson miss?” tanyanya sambil sedikit menundukkan kepalanya. “Sure. Sit down, please” kata dosenku. “Sepertinya aku pernah bertemu dengannya” gerutuku. “What are you saying, Den?” bisik Iska. “Ah? No, nothing” jawabku sedikit terbata. Mahasiswa itu berjalan ke arahku dan duduk di sampingku. Berkali-kali kami saling berpandangan. Bahkan aku sendiri bingung, mengapa tiba-tiba jantungku berdebar. “Are you okay?” tanyanya dengan ekspresi yang dingin. Aku hanya menggelengkan kepalaku. “Ah? I want to tell you about something” bisiknya. “He?” heranku. Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, dan wajahku mulai memerah. “Can’t you only saw miss Nara? I don’t like the way you see me” bisiknya sinis. Sejenak hatiku merasa benar-benar kesal. Namun, disisi lain aku tak dapat marah karenanya.
                Seusai mata kuliah bahasa inggris, aku, Ayu dan Iska makan di kantin. “Hey, rupanya kau juga kuliah disini?” tiba-tiba ada seorang laki-laki yang duduk di sampingku dan tersenyum ramah. “Lho? Bukannya dia mahasiswa yang ikut mata kuliah bahasa inggris miss Nara tadi?” tanya Iska padaku. Belum sempat aku menjawab pertanyaan Iska, tiba-tiba laki-laki itu berkata, “Oh, itu saudara kembarku. Namanya Inggo. Oh, iya kita belum saling kenal ya? Aku Angga” sapanya sambil mengulurkan tangannya padaku. “Aku Dania. Dan ini Iska, dan itu Ayu” kataku sambil menyalaminya. “Kau ambil jurusan apa disini? Ekonomi bisnis?” tanyanya. “Bukan. Aku ambil agribisnis” jawabku pendek. “Oh, semester berapa?” “3” jawabku. “Wah, jadi kau itu juniorku ya? Aku juga agribisnis. Tapi aku dan Inggo semester 5” katanya sambil terus memamerkan senyum manisnya. “Oh iya, boleh pinjam hp mu?” pintanya. Aku langsung melihatnya heran, “Untuk apa?” “Aku lupa menaruh ponselku” jawabnya sambil terus mengacak-acak isi tasnya. Dengan sedikit ragu, aku meminjamkannya. Terdengar ringtone lagu Oh! My Goodes by TRAX dari tas Angga. Angga menggeledah tasnya, “Ah, ini dia!” katanya sambil mengambil handphonenya. “Terima kasih ya, ternyata aku taruh di dalam tas. Hehe” katanya lagi sambil menyerahkan handphone ku dan beranjak dari tempat duduknya. Aku melirik kearah Ayu dan Iska. Mereka tampak berbisik sendiri. “Ah, sudah waktunya aku masuk kelas” Angga berbicara pada dirinya sendiri. “Baiklah, aku ke kelas dulu ya, Dania” pamitnya sambil memberi salam padaku, Ayu dan Iska. “Iya” jawabku sambil tersenyum padanya.
                “Dia mirip sekali dengan mahasiswa yang duduk disebelahmu tadi Dan” kata Iska yang disertai dengan anggukan Ayu, “Bahkan aku mengira dia itu dia! Tapi tingkah mereka berbeda jauh!!” tambah Ayu. Aku mengangguk dan hanya tersenyum melihat mereka berdua terus membicarakan perbedaan si saudara kembar tadi.

Inggo, Angga

                “Yah, giliran aku nggak bawa payung aja malah hujan” gerutuku. Aku duduk diantara begitu banyak orang yang juga sedang berteduh di halte. “oraejeon buteo bogo sipdeon ginyeoreul,usani eomneun geunyeoege marhaejwo....” “Suara itu.. Sepertinya tak asing di telingaku” bisikku dalam hati. Aku menoleh ke sumber suara. Dan benar, ternyata aku sedang duduk di samping mahasiswa Bahasa Inggris Miss Nara tadi. Mahasiswa yang tak lain adalah saudara kembar Angga. “Deg..deg..deg..” “Kenapa jantungku berdegup seperti ini?” bisikku dalam hati sambil sesekali melirik ke arah mahasiswa itu tadi. Entah apa yang kupikirkan, aku serasa tak ingin melihat kearah lainnya lagi. Mataku terus terfokus padanya. Hingga ia pun menyadarinya, “Apa yang kau lihat?” katanya sambil beranjak dari duduknya. Aku hanya menggelengkan kepalaku sambil melihat ke arah lain. “Ah, apa yang kau lakukan tadi, Dania!” pikirku dalam hati. Dia sepertinya masih menantikan jawaban dariku. Namun, tak lama kemudian ada suara perempuan yang memanggil, “Inggo!” “Hey, kau datang juga akhirnya” jawabnya. Lalu perempuan itu memeluk Inggo. Dan disaat yang sama, nafasku terasa begitu sesak. Akupun beranjak dari dudukku, dan berjalan menjauh dari mereka berdua. Tanpa payung, aku terus berjalan dengan pandangan kosong dan menangis di tengah hujan yang lumayan deras. “Inggo.. Ya setidaknya aku telah mengetahui namanya” kataku lirih.
                “Ah, hujannya sudah reda ternyata” kataku lirih sambil melihat keatas. Tampak payung berwarna biru tosca telah melindungiku dari derasnya hujan. “Apa kau tak bisa menggunakan payungmu di kala hujan deras seperti ini?”. Suara yang lagi-lagi tak asing di telingaku. Aku hanya bisa terus memandanginya. Aku terkejut, dan sontak memeluknya. Aku tahu wajahnya begitu terkejut melihatku yang langsung memeluknya begitu saja. “Apa kau baik-baik saja Dan?” tanyanya lembut. Aku melepaskan pelukanku, dan wajahku begitu memerah. “Dania?” panggilnya. Aku menganggukkan kepalaku. “Kau mengikutiku?” tanyaku penuh harap. Ya jujur saja, aku memang mengharapkan jawaban “iya” darinya. Dan benar, dia menganggukkan kepalanya, “Aku memang mengikutimu dari halte tadi. Kamu nggak bawa payung?” tanyanya. Dari situlah aku sadar, bahwa yang berada di hadapanku sekarang bukanlah Inggo. Aku ingat watak Inggo yang begitu dingin juga pendiam. Dan tiba-tiba saja tubuh Angga terlihat menjadi dua. Bahkan kakiku serasa tak kuat menyangga tubuhku sendiri, hingga akupun terjatuh di bahu Angga.

Angga

                Aku membuka kedua mataku, dan berusaha beranjak dari tempat tidur. “tulit” suara pintu bergeser itu membuatku menoleh ke arah Angga yang baru saja masuk dan membawakan segelas air putih dan sup krim. “Dania? Kau sudah sadar?” katanya sambil tersenyum padaku. “Apa sekarang aku sedang berada di rumahmu kak?” tanyaku. Dia meletakkan makanan dan minuman tadi di meja tidur. Lalu dia duduk disampingku sambil tersenyum. “Iya, sekarang kamu sedang dirumahku.” Aku melihat tubuhku sejenak, “Hey! Baju siapa ini?” aku terkejut melihat baju yang aku kenakan, dan menutupi tubuhku dengan selimut. Aku menatap sinis dan sedikit menjauh darinya. “Haha, itu baju adikku, Bella.. Tenang saja, ia yang menggantikan bajumu juga, bukan aku” katanya sambil tersenyum. “Eh, kakak udah bangun? Maaf ya kak, tadi aku mengganti baju basahnya kakak” tiba-tiba adik Angga yang bernama Bella itu masuk ke kamar. Aku menganggukkan kepalaku dan tersenyum. “Kalau sudah mau pulang, sebaiknya kamu makan dulu ya. Kau pulang mengenakan baju Bella dulu juga tidak masalah, iya kan Bella?” Angga menatap Bella, “Iya kak, tenang saja. Kau juga bisa mengembalikannya kapan saja?” kata Bella sambil tersenyum padaku. “Yasudah, aku keluar dulu ya. Bella, temani kak Dania ya” pinta Angga yang dibalas anggukan dan senyum dari Bella.
                Aku tertegun melihat mereka. Aku heran mengapa mereka begitu baik dan manis, dan begitu kontras dengan watak Inggo. Bahkan Angga baru mengenalku tadi. Aku melihat sekelilingku, ruangan yang terbilang luas, dengan perpaduan cat berwarna merah muda dan ungu muda, dan furniture yang juga terbilang cukup mewah membuatku bergeming “Subhanallah” dalam hati. “Kakak, perlu aku suapi?” tanya Bella. “Tidak, tidak perlu. Lagipula kakak tidak lapar kok” jawabku sambil tersenyum. “Kakak kekasihnya kak Angga ya? Kakak cantik ya” katanya sambil tersenyum. Aku terkejut dan menggelengkan kepalaku. “Mungkin kakak akan terlihat lebih cantik apabila tidak mengenakan jilbab” sambungnya lirih.  “He?” aku sedikit terkejut dengan perkataannya, “apa dia non muslim?” pikirku dalam hati. Aku mencoba menyembunyikan keterkejutanku dan menjelaskannya, “Kakak berjilbab karena kakak menginginkannya, kakak juga merasa lebih nyaman mengenakan jilbab.” “Mm, kalian non-muslim ya?” sambung tanyaku dengan sedikit hati-hati. Dia menganggukkan kepalanya. Seketika suasana kita menjadi sedikit canggung, dan beberapa saat setelah aku menghabiskan makananku, “Ibumu ada? Atau ayahmu? Kakak ingin berpamitan dan berterima kasih” kataku. “Mereka di Paris kak. Disini hanya ada kami bertiga dan bibi (pembantu)” ujarnya lirih. Aku dapat merasakan sedikit kesedihan dan kesepiannya, sayang aku terlalu bingung harus mengatakan apa untuk sedikit membuatnya terhibur. “Kakak akan main kerumah lagi kan? Entah kenapa aku merasa begitu nyaman ketika bersama kakak. Kakak seperti ibuku. Cantik, lembut dan beraura hangat” katanya. “Kamu juga, Bella. Cantik, sopan dan baik. Iya, insyaallah kakak akan mampir ke rumahmu lagi.” ujarku sambil mencubit pipi Bella yang chubby. “Oh iya, mana kak Angga? Aku mau pamit sekarang saja” tambahku sambil beranjak dari dudukku.
                Baru saja aku beranjak dari dudukku, Angga sudah berdiri di depan pintu kamar, “Kau sudah mau pulang? Aku antar saja ya? Ini kan masih hujan juga” tawar Angga. “Ehm, kak Angga sudah disana ternyata. Yasudah, kak Dania, aku keluar dulu ya” ujar Bella sambil tersenyum lebar padaku. Setelah Bella keluar dari kamar, aku menjawab, “Aku rasa tak perlu kak. Kalau boleh, aku pinjam payung kakak saja.” “Kau yakin tak perlu kuantar? Hari juga sudah mulai gelap Dania” tawarnya lagi. aku hanya menganggukkan kepalaku dan tersenyum. Angga pun meminjamkan payungnya padaku. Dia dan Bella juga mengantarku hingga ke depan pagar rumahnya. “Terimakasih atas bantuan kalian Kak Angga, Bella. Aku berhutang pada kalian” pamitku. “Aku senang bisa membantumu” jawab Bella dan Angga bersamaan. Kubalikkan tubuhku dan mulai berjalan. “Dania!” teriak Angga. Aku menghentikan langkahku dan menoleh. “Aku benar-benar tak bisa membiarkanmu berjalan sendiri. Setidaknya aku akan mengantarmu hingga halte.” Pintanya. “Tidak kak, aku sudah cukup merepotkanmu dan adikmu untuk hari ini” tolakku dengan sedikit hati-hati. Kutundukkan sedikit tubuh dan kepalaku sambil tersenyum tandaku akan meninggalkannya.
                Sesampainya di halte, aku menunggu bis yang tak kunjung datang. Hingga teleponku berdering, “Kamu dimana Dania?” tanya seorang wanita setengah baya dari telepon. “Aku masih di halte bu, tadi ada latihan musikal di kampus” jawabku. Aku terpaksa membohongi ibuku karena takut membuatnya khawatir. “Oh, yasudah nak, hati-hati ya. Disini hujannya begitu deras” katanya lembut. “Baik bu, aku tutup telponnya sekarang. Assalamualaikum” Kataku lalu kuputus sambungan teleponku dengan ibu. Setelah itu, ada mobil cooper berwarna putih-hitam-merah berhenti tepat di depanku. “Dania? Sedang menunggu bis?” tanya seorang laki-laki sambil membuka kaca jendela mobilnya. Aku mecoba mengingat sesosok lelaki yang berada di dalam mobil, “Revan?” tanyaku sedikit khawatir. Dia teman dekatku sejak SMP, namun ketika SMA ia meninggalkan tanah airnya untuk melanjutkan pendidikannya di Paris. “Kau masih sama dengan yang dulu, hanya tambah tinggi saja. Dan tentu, semakin cantik” katanya “Ayo masuk. Aku akan mengantarmu pulang” tambahnya sambil membukakan pintu untukku. Aku diam sejenak, lalu kuterima tawarannya dan masuk ke dalam mobilnya.
                Di perjalanan, kami bercerita banyak hal. Dan ternyata kini ia yang mencoba mengurus perusahaan ayahnya sambil kuliah di jurusan “manajemen akutansi” dan “seni” di Paris. Maklum, Revan memang anak yang paling jenius yang pernah aku temui. Bahkan IQ nya mencapai 275 lebih. Dia juga merupakan anak tunggal dari pemilik perusahaan agensi entertainment “Dreams World” yang sudah begitu melekat di jagad hiburan Indonesia. Sesampainya dirumah, aku meminta Revan untuk mampir sebentar. Setidaknya, ia berpamitan pada ibuku terlebih dahulu. “Assalamualaikum” ujar kami bersamaan. “Waalaikumsalam” jawab ibu sambil berjalan keluar. “Dania, sudah pulang nak” kata Ibu lembut. Kucium tangan dan kedua pipi ibu. “Ini Revan nak?” tanya ibu sambil tersenyum lebar. “Iya, bu saya Revan. Apa kabar ibu? Sudah lama ya Revan tidak datang kerumah?” sapa Revan ramah sambil mencium tangan ibuku. Aku tersenyum melihat mereka.
                Esoknya, aku pergi ke kampus untuk mengurus beasiswa yang kudapatkan karena prestasiku yang cukup banyak. Hampir sejam telah berlalu, aku lega telah menyelesaikan semuanya. Dan tak terasa waktu dzuhur telah tiba, aku segera bergegas ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah. “Dania!” aku menoleh ke sumber suara, aku melihat Angga melambaikan tangannya padaku lalu mendekatiku dengan setengah berlari.“Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Angga. “Aku jauh lebih baik sekarang” jawabku. “Terima kasih ya” kataku lagi. Dia tersenyum manis sekali. “Dania!” panggil Revan tiba-tiba. Aku dan Angga menoleh bersamaan ke Revan. Dia berjalan mendekati kami sambil tersenyum lebar. “Assalamualaikum” sapanya. Aku tersenyum lalu menjawab sapaannya, “Waalaikumsalam, ada urusan apa kau kemari?” tanyaku. “Kau tak suka melihatku disini?” ketusnya. “Bukan begitu, maksudku..” belum selesai kuberkata, ia menambahkan, “Aku akan melanjutkan studiku disini Dan” “Apa? Lalu bagaimana dengan studi mu di Paris? Akankah kau lepaskan begitu saja?” aku benar-benar tak habis pikir dengan keputusannya. Namun, ia tak menjawab. Ia hanya tersenyum. Dan aku pun tak mendesaknya untuk menjawab pertanyaanku tadi. Angga yang sedari tadi hanya diam melihat kami berbincang-bincang akhirnya membuka mulutnya, “Mm, Dan, aku pergi dulu ya. Oh iya, aku rasa cuaca hari ini mendung lagi, jaga dirimu. Jangan berjalan dibawah air hujan tanpa pelindung.” Aku jadi teringat payung yang ia pinjamkan padaku. “Ah iya kak! Aku lupa membawa payungmu kemarin. Kalau boleh tau besok kak Angga ada mata kuliah jam berapa?” tanyaku. Ia tersenyum, “Nanti aku hubungi” dan melangkahkan kakinya pergi menjauh dari aku dan Revan. Revan menatap Angga curiga. “Kau kenal dimana orang seperti itu?” tanyanya sinis. “Ha? Maksudmu Kak Angga? Dia seniorku disini. Aku semester 3 dan ia semester 5. Kenapa?” jawabku sedikit bingung dengan perubahan ekspresi wajah Revan. “Yasudahlah, aku mau shalat dulu di masjid. Kau mau ikut?” ajakku. “Hm” jawabnya sinis.

Drama Musikal

                “Dania!” panggil Sinta. Sinta adalah seniorku sekaligus wakil ketua UKM Musikal di kampusku. “Iya kak?” “Tiga bulan lagi, kampus kita akan merayakan ulang tahunnya yang ke 17. Dan UKM kita terpilih sebagai 3 UKM pilihan terbaik dari kampus yang akan pentas di perayaan ulang tahun kampus kita nanti.” “Benarkah? Alhamdulillah, itu benar-benar berita bagus” senangku. “Jadi, nanti kumpul di ruang musikal jam setengah 4 sore ya” kata Sinta yang kubalas dengan anggukan dan senyuman. Sinta pun meninggalkanku.
                “Assalamualaikum” Revan menyapaku, “Waalaikumsalam” balasku. “Kau mau kemana? Bukankah kuliahmu hari ini sudah selesai?” “Iya, tapi aku ada kumpul UKM Musikal sore ini” jawabku. “Oh, kamu ikut UKM Musikal? Wah berarti kita sama-sama akan maju ke perayaan ulang tahun kampus kita dong” katanya senang. “Ha? Kamu ikut UKM Musikal juga?” tanyaku kaget. “Tidak, aku ikut UKM Musik. Bukankah ada 3 UKM yang maju ke perayaan ulang tahun itu? UKM Musikal, UKM Musik dan UKM Magic?” tanyanya. “Oh, benarkah? Jadi 3 UKM yang dimaksud Kak Sinta itu” kataku. “Kak Sinta?” tanya Revan. “Iya, dia senior kita sekaligus wakil ketua UKM Musikal disini. Sepertinya dia satu fakultas denganmu, bahkan satu jurusan.” Ujarku menerka-nerka. “Ah, begitu..” jawabnya lesu. “Kamu fakultas ekonomi bisnis jurusan manajemen kan?” tanyaku bingung. Dan ia malah meninggalkanku. “Eh, Revan?” aku memandangnya heran. Dan ketika ku akan mengejarnya, Iska memanggilku dan mengajakku langsung masuk ke ruang Musikal.
                “Baiklah, untuk sebelumnya saya akan mengenalkan anggota baru UKM Musikal kita, Inggo silahkan masuk” kata Kak Sinta. “Inggo?” bisikku. “Hai, aku Inggo. Aku anggota baru, mohon bantuannya” katanya sambil tersenyum. Dan tepuk tangan memeriahkan perkumpulan UKM Musikal kali ini. Setelah Kak Sinta menjelaskan tentang apa yang akan dipentaskan dalam perayaan ulang tahun nanti, Kak Sinta pun meminta kawan-kawan sekalian memilih tokoh utama wanita dan pria melalui penulisan nama di kertas yang telah disediakan. “Baiklah, tokoh utama wanita diperankan oleh Dania. Dan tokoh utama pria dimainkan oleh Inggo. Hasil telah disepakati semuanya dan tanpa kecurangan apapun. Sehingga hasil ini tidak  dapat diganggu gugat oleh siapapun”terang Kak Sinta. “Apa? Aku? Inggo? Benarkah?” pikirku tak percaya. “Semangat untuk kita” Inggo mendekatiku dan menyalamiku. Aku tetap dalam keterkejutanku, hingga Sinta memintaku dan Inggo untuk memulai latihannya disaat itu juga.
                “Aku benar-benar tak sanggup untuk melihatmu bersamanya,, ingin sekali kurenggut dirimu darinya.. Namun, kusadar akan perbedaan kitaa” ekspresi Inggo begitu nyata. Sorot matanya seakan memiliki makna yang sama dengan apa yang diharapkan oleh sang sutradara. “Cut! Fantastik Inggo! Aktingmu terasa begitu nyata!” puji Miko. “Puji Tuhan,” sahutnya gembira. “Kak Miko, apa musikal kita perlu VCR seperti ini? Bukankah biasanya kita langsung mementaskannya di panggung?” ujarku tiba-tiba. “Mmm, begini, pementasan musikal kita kali ini akan sedikit berbeda dengan yang lalu. Fungsi VCR ini adalah untuk memberikan sedikit bocoran tentang alur cerita musikal kita yang dimana VCR kita ini nanti akan diiringi oleh UKM Musik” jelas Miko. “Perpaduan UKM Musik dan Musikal? Bukankah lebih baik kita memakai musik musikal kita sendiri? Maksudnya, begini. Bukankah ini kali pertama kita bertemu UKM Musik di suatu pementasan resmi nan mewah? Setidaknya biarkan UKM kita masing-masing menunjukkan kemampuannya sendiri. Jangan dipadukan, supaya kita saling mengetahui apa kelebihan dan kekurangan kita?” jelasku panjang lebar. Suasana hening sejenak, hingga Inggo pun berdiri dan berkata, “Aku rasa aku memiliki kesamaan pendapat dengan Dania. Maksudku alangkah baiknya apabila kita menunjukkan apa yang kita miliki sekarang ini. Lagian kita bisa menghindari komentar yang berbau membandingkan. Misal, ‘wah ukm musikal ini tak akan menjadi sebagus ini tanpa komposer dari ukm musik’ atau bahkan sebaliknya, ‘ukm musik takkan mampu berjuang diatas panggung tanpa ukm musikal’. Iya kan?” “Mm, aku rasa kau benar. Bagaimana Miko?” tanya Santi. “Ah, yang benar saja! Itu takkan mungkin terjadi. Kau berlebihan Dania, dan kau Inggo.. Kau ini pemain awal, jadi kau tak tau apa-apa tentang UKM ini!” Miko sang ketua UKM Musikal pun marah dan meninggalkan kami. Santi terkejut dengan apa yang terjadi, “Baiklah pertemuan kita cukup sampai disini dulu ya” jelas Santi. “Apa-apaan ini? Yang benar saja, aku telah mengamati UKM ini selama 2,5 tahun” gerutu Inggo. Aku menoleh ke arahnya, “Apa? 2,5 tahun kak?”tanyaku tiba-tiba. Ia hanya memandangku kesal dan berjalan meninggalkanku.

Cinta Pertama Miko


                “Miko, kau tak seharusnya seperti itu. Kalau kau tak sependapat dengan mereka kau bisa menjelaskannya baik-baik tanpa emosi seperti itu. Atau jangan-jangan kauu...” Santi mencoba menenangkan Miko. Miko terus berjalan tanpa memedulikan kata-kata Santi. “Miko, aku tau mungkin ini sulit untukmu, tapi bukan berarti kau terus memusuhinya. Dia salah satu anggota cast terbaik di UKM kita. Jadi cobalah untuk lebih profesional!” Santi terus mencoba menenangkan Miko, namun Miko tetap tak menoleh pada Santi. “Miko! Jangan karena Dania pernah menolakmu tiap ia bertanya atau menyampaikan pendapatnya yang tidak sejalan denganmu kau terus emosi seperti itu!” bentak Santi. Kedua tangan Miko mengepal, seperti ada duri yang menusuk hatinya, “Aku tau San, aku tau! Kau tak perlu memberitahuku pun aku tau! Aku telah mencoba segala hal untuk menutup luka lama itu, tapi itu akan membutuhkan waktu lama. Ditambah kita dalam satu UKM yang sama”
“Aku mengerti. Tapi cobalah untuk bersikap lebih dewasa, Miko. Lagipula kau adalah ketua di UKM Musikal ini, dan kemajuan UKM kita juga akan bergantung daripada kebijakanmu sendiri.” jelas Santi. “Akan kucoba” katanya sambil berlalu meninggalkan Santi.
            “Apa sore ini akan turun hujan lagi? hmm” gerutuku sambil melihat langit dan terus menyusuri jalanan. ‘Oh, i love you love you, you love me love me, ara neol hyanghan naye maeumeul..’ handphone ku berdering, “Assalamualaikum, Ini Dania” sapaku. “Aku dirumah sekarang, kalau kau ingin mengembalikan payungku, segera datang kerumahku saja” jawabnya. “Eh? Baiklah. Aku kerumah kakak sekarang, aku tutup telponnya kak” kataku. “Eh, tunggu! Kamu dimana sekarang?” tanyanya. “Aku di halte dekat kampus kak, mungkin setengah....” belum selesai aku menjawab ia menyela, “Baiklah kau tunggu disana saja. Jangan kemana-mana, aku akan menjemputmu” “Tapi kak” sela ku yang tak sempat kuucapkan karena ia telah memutuskan telponnya. Akupun mengikuti permintaan Angga untuk menunggunya di halte. “Kau naik bis juga?” tanya seorang lelaki yang kemudian duduk disampingku. Aku menoleh kearahnya, dan aku benar-benar terkejut, “Kak Inggo?” kataku terbata. “Kau kenapa? Apa aku tampak aneh? Pasti kau berpikir aku berkepribadian ganda ya?” tanyanya sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk pelan, “Mm, kakak juga naik bis?” tanyaku balik. “Mm” jawabnya tanpa memandangku. “Lagi-lagi kau seperti itu kak?” tanyaku dalam hati sambil menghela nafas. Kedaan hening untuk sesaat hingga ada mobil sedan berwarna putih yang berhenti di hadapan kami. “Inggo?” kaget Angga. “Kak? Sedang apa kak Angga disini?” tanya Inggo lalu melirik ke arahku. “Sejak kapan kau mulai pulang ke rumah naik bis?” Angga berbalik tanya. Inggo hanya diam dan meninggalkan Angga. “Inggo!” panggil Angga yang turun dari mobilnya. “Hey! Inggo!” Meski begitu, Inggo tetap berjalan tanpa menoleh ke kakaknya lagi. “Apa-apaan dia ini?” tanyaku dalam hati sambil memandang punggung Inggo yang semakin menjauh.

Inggo’s Feeling

            “Apa dia kesana untuk menjemput Dania?” pikir Inggo dalam hati. “Itu berarti, apakah kak Angga memiliki rasa untuknya?” tambahnya. Ia mengepalkan tangannya dan menghentikan langkahnya.  Kini ia berada di pinggir danau buatan yang sepi tak jauh dari kampusnya. Ia duduk sambil terus mengepalkan tangannya. Ia teringat akan cinta pertamanya yang bertepuk sebelah tangan di masa lalu. “Kau boleh saja mengambil hati Luna ketika itu, tapi kali ini aku takkan membiarkan hal itu terulang lagi” bisiknya yang mengepalkan tangannya semakin kuat. “Aku yang menemukannya pertama kali, dan aku pula yang telah memerhatikannya belakangan ini” “Argh! Kenapa semua orang selalu memandangmu hebat ha?!” teriak Inggo yang mulai menitikkan air mata. “Aku terus hidup di bayanganmu, aku terus dibandingkan dengan dirimu, semua yang seharusnya menjadi milikku pasti berpaling padamu! Apa aku tak pantas memiliki semua yang aku inginkan Tuhan?!” kesalnya.
Air hujan mulai turun dengan derasnya, sederas air mata yang juga keluar sebagai luapan amarah Inggo. “Maafkan aku yang tak pernah mengatakan hal ini padamu, tapi sudah lama aku menyimpan rasa terhadap kakakmu, Angga” kata-kata Luna, cinta pertama Inggo kini terus mengiang di telinganya.  Tak hanya itu, kata-kata ayahnya yang cukup tak enak didengarpun ikut berdengung di telinganya, “Inggo! Apa kau tak bisa melakukan hal yang bisa membanggakan orang tua mu?! Lihat Kak Angga! Ia tak pernah absen untuk menjadi juara kelas!” “Ya, aku memang tak sebaik Kak Angga! Aku selalu berada di bawah bayangan Kak Angga! Dan aku tak pernah berada satu langkah di depannya!” teriak Inggo yang frustasi dan membuang jauh batu yang ada di sebelahnya.
“Kau baik-baik saja Inggo?” seorang gadis cantik menepuk bahu Inggo yang benar-benar frustasi, ia lalu duduk disamping Inggo, “Sudah kuduga, kau masih belum dewasa” katanya sambil tersenyum. “Apa maksudmu? Sejak kapan kau ada disini?” tanya Inggo tanpa menoleh kearah gadis cantik tadi yang tak lain adalah gadis yang memeluknya di halte. “Inggo, seandainya kau bisa lebih dewasa mungkin dulu aku takkan bersikap seperti itu padamu. Aku benar-benar minta maaf” kata gadis itu sambil terus memamerkan senyum manisnya. “Ck, aku pergi” kata Inggo sambil beranjak dari duduknya, “Tenanglah Inggo, aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang sedari dulu ingin kuungkapkan padamu, jujur saja, kini ku mulai menyadari bahwa ketika itu rasaku terhadap Angga dulu hanya sebatas obsesiku semata. Aku mohon maafkan aku, aku” kata gadis itu sambil menahan tangan Inggo. “Maaf Luna, aku benar-benar dalam suasana hati yang buruk. Kuharap kau bisa mengerti” Inggo pun melepaskan tangan Luna dan menjauh. “Inggo!” Luna beranjak dari duduknya, dan Inggo pun menghentikan langkahnya. Ia menoleh sekali lagi pada Luna, “Aku mencintaimu Luna” kata Inggo dengan tatapan serius dan dibalas senyum sumringah Luna. “Dulu” kata Inggo, “Jadi, jangan pernah kau muncul di hadapanku lagi, karena sampai kapanpun rasa itu takkan pernah kembali” lanjut Inggo lalu membalikkan badan dan berjalan menjauhi Luna.
“Inggo! Aku tahu kau kini menyukai gadis yang di halte itu ! Dan kejadian di halte itu adalah skenario kita! Tapi ingat Inggo, ia tak seiman denganmu! Bahkan sainganmu bukan hanya saudara kembarmu sendiri?!” teriak Luna. Inggo yang tak menoleh hanya menggerutu, “Dasar gadis bodoh! Sudah berapa kali kau katakan hal itu?!” dan ia pun membalikkan badannya. Ia berjalan ke arah Luna dengan tenang, ia menatap kedua mata Luna yang berkaca-kaca. “Kau menjadi satu-satunya saksi perasaanku ini, dan aku yakin kau akan baik-baik saja. Kau paham kan? Lagipula, seperti katamu tadi aku masih kekanakan. Untuk apa kau menghalangiku seperti ini?” Luna hanya terdiam. “Aku pergi” kata Inggo acuh. Melihat Inggo yang terus berjalan dan tak berbalik lagi, Luna menitikkan air matanya yang tak terbendung lagi. Ia memukul dadanya berkali-kali, “Apa ini yang kau rasakan ketika kau mengetahui hubunganku dengan Angga? Maafkan aku Inggo” tangisnya semakin menjadi hingga kedua kakinya pun turut tersimpuh.
*Di mobil Angga,
            “Apa seburuk itu hubunganmu dengan Kak Inggo?” tanyaku hati-hati untuk memecahkan keheningan di antara kami. Dia hanya tersenyum, “Ini semua hanya salah paham” katanya. “Maksudnya? Kalau begitu kenapa kau biarkan ia salah paham?” tanyaku heran. “Karena suatu saat nanti aku yakin dia akan sadar dengan sendirinya” katanya santai sambil tersenyum padaku. Aku terdiam sesaat. “Terkadang seseorang memang selalu berusaha mencari yang terbaik dalam hidupnya, namun tak jarang juga kita menemukan seseorang yang malah akan hanya berkutat dalam masalahnya sendiri tanpa memiliki hasrat untuk menyelesaikannya” kataku tiba-tiba. Aku tau Angga mengerti apa yang kumaksudkan, namun dia hanya diam memandangku. Dan untuk beberapa saat suasana kami begitu canggung. “Bella merindukanmu, Dania” kata Angga tiba-tiba. “Eh?” aku menoleh kearahnya, “Maksudnya?” tambahku. “Dia sekarang sedang sakit dan Mama masih belum bisa pulang ke Indonesia. Sedangkan Bella benar-benar membutuhkan perhatian dari sesosok ibu.” Jelas Angga. Aku termenung, “Kalau begitu kenapa kau tak menghubungi saudaramu yang ada disini?” tanyaku. “Kebanyakan saudara kami berdomisili di luar negeri” jawabnya.
            Tak lama kemudian, kita sampai di rumah Angga. “Oh, sudah pulang kak? Heh kau bolos kerja lagi? Pantaslah,” ketus Inggo yang berdiri tepat di depan pagar. “Iya, kakak sudah keluar dari tempat kerja kakak. Kau tadi kemana? Bukankah tadi lebih baik kau pulang bersama kami?” jawab Angga dengan senyumnya. Inggo terdiam dan melirik kearahku dengan pandangan yang kurang menyenangkan, “Tidak, aku hanya ingin mengembalikan payung Kak Angga kok. Ini kak payungnya” kataku sambil menyerahkan payungnya. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa disana, hingga aku berpura-pura melihat jam, “Oh, sudah sore sekali rupanya. Kak, aku pulang dulu ya” pamitku, “Tunggu Dan, bukankah kamu belum sempat menjenguk adikku, Bella?” cegah Angga. “Biarkan saja, dia benar. Ini sudah sore kak” celetuk Inggo. “Besok aku kesini deh kak, kebetulan besok aku juga nggak ada kuliah kok” kataku sambil tersenyum. “Aku antar ya” pinta Angga. “Tak perlu kak, terima kasih tawarannya.” Jawabku. “Permisi Den Angga ada telpon dari tuan” kata bibi yang keluar menghampiri Angga. “Oh, iya bi suruh tunggu dulu sebentar” katanya, “Baiklah hati-hati di jalan ya Dania” tambahnya yang kubalas dengan anggukanku.
            Angga dan bibinya pun masuk ke dalam rumah. Namun tidak dengan Inggo. Ia masih tegak berdiri di depan pagar dan memandang langit kelam. “Sepertinya sore ini mendung, biarkan aku mengantarmu” kata Inggo. “Ada apa dengan bocah ini?! Tadi memintaku pulang sekarang menawarkan tumpangan,” pikirku dalam hati. Inggo mengeluarkan kunci mobilnya dan mengantarkan Dania. “Ayo, masuk!” pintanya. “Aku ingin mengatakan sesuatu padamu di perjalanan nanti” katanya dengan suara yang sedikit lirih. “Baiklah,” jawabku singkat.
            Selama perjalanan, kami sempat terjebak di saat-saat yang begitu canggung sambil mendengarkan lagu Really by Song Joong Ki. “Dulu, ketika kami berusia 13 tahun, kami pernah menyukai satu gadis yang sama. Awalnya, kami bertiga hanya sekedar sahabat yang saling mengisi. Ya, kami kira kami hanya sebatas sahabat. Namun, suatu ketika ketika aku dan Kak Angga mengalami kecelakaan..” Inggo memulai percakapannya denganku yang kemudian terdiam sejenak. Aku menoleh kearahnya, kutatap wajahnya dan akupun dapat merasakan ada luka di dalam hatinya. Ia melambatkan laju mobilnya, lalu memarkir mobilnya di pinggir jalan. Ia menundukkan kepalanya, “Aku, aku terluka parah ketika itu, sedangkan Kak Angga hanya mendapati beberapa luka ringan. Dan gadis itu, gadis itu hanya memberikan perhatiannya pada Kak Angga. Awalnya, aku berpikir positif. Ya, karena kami sahabat dan aku terluka parah mungkin ia berpikir bahwa lebih baik ia tak menggangguku. Dan aku berpikir bahwa ketika itu aku hanya merasakan kecemburuan sosial belaka, tidak lebih.” Suara Inggo mulai terbata dan aku terus mendengarkan ceritanya dengan seksama, “Waktu terus berlalu, dua tahun kemudian aku baru menyadari perasaanku, dan di usia 15 tahun itu aku mengungkapkan perasaanku padanya. Dan satu hal yang tak pernah kuduga, ternyata ia telah menjadi kekasih Kak Angga. Aku terus berpikir bahwa aku ini sangatlah bodoh, namun disisi lain aku mulai membenci mereka. Aku benci mereka yang tak pernah berterus terang tentang hubungan mereka. Bukankah aku juga sahabat mereka? Meski kebencianku terhadap gadis itu lebih sedikit daripada Kak Angga. Namun, ah!” Air mata mulai menetes deras di pipinya. “Tenanglah Kak,” Aku menepuk pundaknya dengan sangat hati-hati. “Aku mengerti sekarang, namun aku tak habis pikir. Kenapa Kak Inggo mau menceritakan itu padaku?” tanyaku. “Karena, karena aku tak ingin terlambat lagi untuk kedua kalinya” katanya sambil mengangkat kepalanya. Aku diam mencoba memahami dengan apa yang dimaksudnya. “Aku menyukaimu, Dania. Bahkan sejak kau masih SMA” dia menatapku tajam. “A-apa ini?” tanyaku terbata dan aku mencoba untuk mengendalikan gejolak di dadaku. “Ya, aku menyukaimu. Aku telah memerhatikanmu sejak kau sering bermain ke mall itu. Bahkan tanpa kau sadari, pertemuan kita akhir-akhir ini, semuanya, adalah skenarioku” jelas Inggo.
            “Maaf, karena aku sempat bersikap dingin padamu ketika itu. Karena jujur ini untuk kedua kalinya aku tertarik pada seorang perempuan, bahkan ini untuk pertama kalinya aku menyukai seseorang yang tak pernah ku kenal sebelumnya” kata Inggo. “Skenario? Apa maksudmu kak? Mungkin,  mungkin rasa itu hanya obsesi sementaramu saja Kak, aku yakin sebentar lagi rasa itu akan hilang” kataku dengan hati-hati. “Aku rasa tidak” jawabnya singkat. Kami terdiam, “Kau tau? Ketika kau berjalan di tengah hujan lebat tanpa membawa payung? Sejujurnya itu juga salah satu dari skenarioku bersama gadis itu. Dan dari situ pula, aku menyadari bahwa kau memiliki sedikit rasa untukku. Karena itulah, karna itulah aku berani mengutarakan perasaanku ini padamu.” Sontak pernyataan itu membuatku terkejut. “Apa maksudmu?” tanyaku malu. “Kau akan menyadarinya nanti. Pikirkan baik-baik dan hubungi aku setelahnya.” Kata Inggo sambil menyerahkan secarik kertas padaku. “Baiklah, maaf telah meminta banyak waktu darimu” tambahnya. Beberapa menit kemudian kami tiba dirumah. “Aku rasa lebih baik aku langsung pulang. Maaf jika aku membuat hatimu merasa tidak nyaman.” Kata Inggo. “Ah, tidak apa-apa kak. Aku baik-baik saja kok.” Jawabku sambil terus menenangkan jantungku yang masih berdetak kencang. “Baiklah, aku pulang dulu ya Dan.” Pamitnya. “Iya Kak, hati-hati ya” kataku.

Kebimbangan Hati Dania

            “Sadarlah Dania, kau ini seorang muslimah. Kau bahkan berjilbab” bisiknya dalam hati. “Tapi apa iya merupakan suatu hal yang tabu bila ku menyukainya?” lanjutku, “Ya Allah, sesungguhnya kau Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui, dengarkanlah curahan hati hamba ini Ya Allah dan perlihatkan hamba petunjuk jalanMu yang terbaik YaAllah. Amin”. Ia menghela nafas, diambilnya bantal tidurnya dikasur dan ia peluk erat, “Don’t worry! Its just a dream” pikirku dalam hati.
            “Allahuakbar Allahuakbar...” Suara adzan shubuh telah dikumandangkan. Aku yang tak dapat tidur nyenyak pun langsung beranjak dari tempat tidur dan mengambil air wudlu. “Sudah bangun nak? Tumben sekali kamu jam segini sudah bangun? Biasanya kan jam 5?” tanya ibu yang baru saja selesai berwudlu. “Iya bu, tadi terbangun sendiri. hehe.. Setelah ini ibu mau langsung masak?” tanyaku. “Tidak nak, nanti kamu beli lauk di warung dulu ya? Ibu rasanya tidak enak badan hari ini.” jawab ibu. “Apa perlu Denia buatkan teh hangat bu? Kenapa ibu nggak bilang sama Denia sih?” sesalku. “Sudahlah nak, paling ibu cuma kelelahan. Jangan terlalu khawatir.” Kata Ibu sembari tersenyum dan berlalu meninggalkan Denia. Maafkan ibu nak, ibu tak ingin membuatmu lebih khawatir lagi” pikir ibu dalam hati sambil menahan sakit di dadanya.
            “Tok, tok, tok” Denia mengetuk pintu kamar Ibu. Ini sudah yang ke lima kalinya Denia mengetuk. Namun, tak ada jawaban. Denia yang mulai sedikit khawatir mencoba untuk membuka pintu kamar yang ternyata tak terkunci. “Ibu, ibu baik-baik saja?” tanyanya dengan nada pelan dan menengok sekeliling kamar Ibunya. “Ibu?! Ibu kenapa?! Ibu? Ibu?” Denia langsung menelpon ambulance dan memeriksa denyut nadi ibu nya. “Naaak, maafkan ibu ya naak. Jangan menangis naak. Denia, Ramadhania Aisyah Wijayanti. Putri yang membanggakan keluarganya. Teruskan hidupmu nak. Ibu menyayangimu. Asyhadu Alla Illa Ha Ilallah, Waasyhaduanna Muhammadar Rasulullah” rintih ibu sambil mengusap wajah Denia yang menangis. “Ibu, bertahanlah. Aku mohon, bertahanlah sebentar bu.. Aku mohon.. Denia menyayangi Ibu” Tak lama kemudian, ambulance datang. Namun sayang, nyawa Ibu Denia tak tertolong.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kemana?

Aku + Kamu = Cermin ( Rangkaian Kata - Sekedar Sharing - Cerpen )

Luka Dalam Diam