A Different Love
Dania,,
Namaku
Ramadhania Aisyah Wijayanti, dan teman-temanku sering memanggilku Dania atau
Nia. Aku dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki keislaman yang cukup
kental. Jadi, tak heran apabila akupun mengenakan jilbab baik dirumah maupun di
luar rumah.
Tahun
ini merupakan tahun yang menyesakkan. Aku harus berpisah dengan
sahabat-sahabatku SMA untuk melanjutkan mimpi kami yang berbeda. Dian, ia
memiliki impian untuk menjadi arsitek yang handal. Lalu Fatma, ia juga memiliki
impian untuk menjadi ahli farmasi. Kemudian, Tria dan aku yang sama-sama berkeinginan
untuk menjadi ahli gizi.
Dan
tepat pada hari ini, sekolah kami mengadakan wisuda, “Eh, liat! Itu Nia?” tanya
Tria yang berdiri di depan pintu gedung wisuda sambil menunjukku kaget. “Ah,
iya! Itu Nia! Nia!” seru Dian yang melambaikan tangan padaku. Akupun
melambaikan tanganku dan mendekati mereka. “Wah, kalian cantik ya” pujiku.
“Kamu juga Ni, beda banget kamu! Bener deh!” puji Fatma yang disertai anggukan
Dian dan Tria. Lalu, kami mengikuti wisuda hingga akhir dengan suasana yang
begitu khidmat.
Tiga
bulan menuju ospek akan segera tiba, dan kami berempat pun merencanakan
pertemuan sebelum masing-masing dari kami sibuk dengan kegiatan di kampus. “Fatma!
Pasti Fatma yang paling lama” gerutu Dian. “Hihi, itu sudah hal yang biasa, Dian.”
jawabku. “Menunggu lagi, menunggu lagi” sahut Tria malas. “Oh, iya kalian
berdua jadi satu kampus?” tanya Dian. Aku dan Tria menganggukkan kepala. “Hanya
saja kita beda fakultas. Nia di fakultas ilmu komputer dan aku di fakultas ekonomi
bisnis” kata Tria. “Lho? Bukannya kalian..?” tanya Dian. “Kalian ingin masuk
ahli gizi maksudmu?” sahutku memotong perkataan Dian. “Kami gagal seleksi
tertulis yan. Jadi, mau gimana lagi?” ujarku datar. “Lalu mengapa kalian nggak
ambil jurusan yang selaras dengan impian kalian? Kalian di Universitas mana
sih?” tanya Dian lagi. “Universitas DreamNavel” sahutku. “Bukankah disana juga
ada jurusan Kesehatan Masyarakat?” tanyanya lagi. “Disana, kualitas pendidikan
kesehatan masyarakatnya masih buruk yan” sahut Tria.
Tak
lama kemudian Fatma datang, ia menghampiri kami yang sedang duduk di teras
rumah Tria. “Maaf, kawan.. Lagi-lagi aku terlambat, ya?” kata Fatma sambil
menggarukkan kepalanya. “Sudah biasaaa” jawab kami secara serempak dan nada
sinis. “Ayo, berangkat sekarang! Kita pakai mobilku saja.” potong Tria. Ketika
di dalam mobil, kami berempat terus bercerita tentang masa-masa kita di SMA
dulu. Hingga, tak terasa kami telah sampai di tempat tujuan kami. Bluemoon
Mall. Salah satu mall terbesar di kota kami. Biasanya, kami menghilangkan penat
kami disini.
Dream Of Prince
Baru
saja, kita berjalan masuk ke mall, ada seorang lelaki bertubuh tinggi kurus
yang membawa begitu banyak kado dan hampir menabrak kami. Kami pun
menghindarinya. Namun, ketika aku menghindarinya dengan bergeser ke kanan, ia
malah ikut bergeser ke kanan. Dan tabrakan diantara kami pun tak terhindarkan. Kado-kadonya
pun berjatuhan. Aku segera berdiri dan meminta maaf, “Maaf, saya tak bisa
mengenali pergerakanmu” kataku sambil membantunya memberesi kadonya. Namun, si
lelaki ini tak menjawab apapun. Dia hanya fokus ke kado-kadonya. Sekali lagi
aku coba untuk meminta maaf, “Skali lagi saya minta maaf” sambil memberikan
kadonya yang terakhir. Dan ia hanya menganggukkan kepalanya tanpa menoleh ke
arahku. Lalu, ia pergi begitu saja. Tanpa kusadari, aku telah memandanginya
begitu lama dari belakang. “Hey! Dia sudah jauh Nia” ujat Fatma dengan menepuk
pundakku. “Ah, iya. Apa dia begitu marah padaku karena telah menjatuhkan
kado-kadonya tadi?” tanyaku. “Fiuh, yang salah siapa yang minta maaf siapa?
Kamu aneh Denia” ujar Tria sambil menghela nafas. “Lagian kamu berlebihan Dania,
kamu dan dia hanya bertabrakan. Tidak ada yang terluka juga. Kenapa kamu
sekhawatir itu?” sela Fatma. “Dania, dania” sahut Dian kemudian sambil
menggelengkan kepalanya. “Yasudah, ayo kita jalan lagi” ujar Fatma. Kami pun
berjalan lagi menuju pujasera resto yang ada di mall itu. “Kita makan disana
saja bagaimana? Lagi promo tuh” kata Tria sambil menunjuk salah satu resto sushi.
Aku, Dian dan Fatma mengangguk setuju dan langsung menuju ke resto itu.
Namun,
alangkah terkejutnya kami ketika melihat waiter itu mirip sekali dengan lelaki
yang bertabrakan denganku tadi. Pada saat yang sama, ia juga menghampiri kami
dan menebarkan senyumnya yang memesona sambil memberikan menu makanannya.
Tiba-tiba saja aku beranjak dari tempat dudukku dan meminta maaf, “Skali lagi
maafkan aku” kataku padanya. Dia dan teman-temanku terkejut sekaligus bingung
melihat tingkahku. “Ayo, duduk. Memangnya kamu yang salah? Lagian siapa tahu
dia bukan laki-laki yang tadi? Tapi andaikata iya pun, kamu tak perlu minta
maaf. Orang dia yang salah!” bisik Fatma sambil memintaku duduk. Lelaki itu
memandangiku heran. Aku hanya menutup wajahku malu namun masih merasa bersalah.
“Maaf, kalau boleh saya tahu, apa tadi kamu bermasalah dengan saudara kembar
saya?” tanyanya lembut. Aku melepaskan tanganku dan memandangnya sebentar. “Ha?
Itu bukan anda?” tanyaku tak percaya. “Dania, kamu berlebihan deh! Maaf ya mas.
Dia memang suka berlebihan” kata Dian sambil sedikit menundukkan kepalanya
tanda permintaan maaf. “Tidak apa-apa. Lagipula saya memang punya saudara
kembar. Namun, ia tidak bekerja paruh waktu disini. Tapi di restoran itu” kata
laki-laki itu sambil menunjuk salah satu restoran di dekat kami. “Apa dia
membuatmu merasa tak enak hati?” tanyanya. Namun, aku masih terdiam. Entah aku
memang tertarik padanya atau bagaimana.
Masih
dalam lamunanku, ia bertanya lagi “Apa dia telah membuat anda merasa tak
nyaman? Kalau iya maafkan dia ya. Dia memang sulit untuk mengatakan kata maaf.
Karena dia memang orang yang cenderung tertutup.” Aku tetap terdiam, hingga
Tria menyikut siku ku. “Hey, dia bertanya padamu!” bisiknya. “Ah, tidak. Kami
hanya tidak sengaja saling bertabrakan di lantai dasar tadi” kataku sambil
tersenyum. Dan dia pun membalas senyumanku. Begitu manis, dan tak disangka aku
telah terperangkap dalam pesonanya.
Saudara Kembar..?
Dua
bulan kemudian, aku dan ketiga sahabatku mulai jarang berjumpa. Dan di
perguruan tinggi ini aku mulai memiliki teman dekat baru. Ayu dan Iska. Suatu
ketika, kami bertiga sedang mengikuti mata kuliah bahasa Inggris.
“tok..tok..tok..”
Ada seorang mahasiswa yang mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam kelas, “excuse
me miss., may i following your lesson miss?” tanyanya sambil sedikit
menundukkan kepalanya. “Sure. Sit down, please” kata dosenku. “Sepertinya aku
pernah bertemu dengannya” gerutuku. “What are you saying, Den?” bisik Iska.
“Ah? No, nothing” jawabku sedikit terbata. Mahasiswa itu berjalan ke arahku dan
duduk di sampingku. Berkali-kali kami saling berpandangan. Bahkan aku sendiri
bingung, mengapa tiba-tiba jantungku berdebar. “Are you okay?” tanyanya dengan
ekspresi yang dingin. Aku hanya menggelengkan kepalaku. “Ah? I want to tell you
about something” bisiknya. “He?” heranku. Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku,
dan wajahku mulai memerah. “Can’t you only saw miss Nara? I don’t like the way
you see me” bisiknya sinis. Sejenak hatiku merasa benar-benar kesal. Namun,
disisi lain aku tak dapat marah karenanya.
Seusai
mata kuliah bahasa inggris, aku, Ayu dan Iska makan di kantin. “Hey, rupanya
kau juga kuliah disini?” tiba-tiba ada seorang laki-laki yang duduk di
sampingku dan tersenyum ramah. “Lho? Bukannya dia mahasiswa yang ikut mata
kuliah bahasa inggris miss Nara tadi?” tanya Iska padaku. Belum sempat aku
menjawab pertanyaan Iska, tiba-tiba laki-laki itu berkata, “Oh, itu saudara
kembarku. Namanya Inggo. Oh, iya kita belum saling kenal ya? Aku Angga” sapanya
sambil mengulurkan tangannya padaku. “Aku Dania. Dan ini Iska, dan itu Ayu”
kataku sambil menyalaminya. “Kau ambil jurusan apa disini? Ekonomi bisnis?”
tanyanya. “Bukan. Aku ambil agribisnis” jawabku pendek. “Oh, semester berapa?”
“3” jawabku. “Wah, jadi kau itu juniorku ya? Aku juga agribisnis. Tapi aku dan
Inggo semester 5” katanya sambil terus memamerkan senyum manisnya. “Oh iya,
boleh pinjam hp mu?” pintanya. Aku langsung melihatnya heran, “Untuk apa?” “Aku
lupa menaruh ponselku” jawabnya sambil terus mengacak-acak isi tasnya. Dengan
sedikit ragu, aku meminjamkannya. Terdengar ringtone lagu Oh! My Goodes by TRAX
dari tas Angga. Angga menggeledah tasnya, “Ah, ini dia!” katanya sambil
mengambil handphonenya. “Terima kasih ya, ternyata aku taruh di dalam tas.
Hehe” katanya lagi sambil menyerahkan handphone ku dan beranjak dari tempat
duduknya. Aku melirik kearah Ayu dan Iska. Mereka tampak berbisik sendiri. “Ah,
sudah waktunya aku masuk kelas” Angga berbicara pada dirinya sendiri. “Baiklah,
aku ke kelas dulu ya, Dania” pamitnya sambil memberi salam padaku, Ayu dan
Iska. “Iya” jawabku sambil tersenyum padanya.
“Dia
mirip sekali dengan mahasiswa yang duduk disebelahmu tadi Dan” kata Iska yang
disertai dengan anggukan Ayu, “Bahkan aku mengira dia itu dia! Tapi tingkah
mereka berbeda jauh!!” tambah Ayu. Aku mengangguk dan hanya tersenyum melihat
mereka berdua terus membicarakan perbedaan si saudara kembar tadi.
Inggo, Angga
“Yah,
giliran aku nggak bawa payung aja malah hujan” gerutuku. Aku duduk diantara
begitu banyak orang yang juga sedang berteduh di halte. “oraejeon buteo bogo
sipdeon ginyeoreul,usani eomneun geunyeoege marhaejwo....” “Suara itu.. Sepertinya
tak asing di telingaku” bisikku dalam hati. Aku menoleh ke sumber suara. Dan
benar, ternyata aku sedang duduk di samping mahasiswa Bahasa Inggris Miss Nara tadi.
Mahasiswa yang tak lain adalah saudara kembar Angga. “Deg..deg..deg..” “Kenapa
jantungku berdegup seperti ini?” bisikku dalam hati sambil sesekali melirik ke
arah mahasiswa itu tadi. Entah apa yang kupikirkan, aku serasa tak ingin
melihat kearah lainnya lagi. Mataku terus terfokus padanya. Hingga ia pun
menyadarinya, “Apa yang kau lihat?” katanya sambil beranjak dari duduknya. Aku
hanya menggelengkan kepalaku sambil melihat ke arah lain. “Ah, apa yang kau
lakukan tadi, Dania!” pikirku dalam hati. Dia sepertinya masih menantikan
jawaban dariku. Namun, tak lama kemudian ada suara perempuan yang memanggil,
“Inggo!” “Hey, kau datang juga akhirnya” jawabnya. Lalu perempuan itu memeluk
Inggo. Dan disaat yang sama, nafasku terasa begitu sesak. Akupun beranjak dari
dudukku, dan berjalan menjauh dari mereka berdua. Tanpa payung, aku terus
berjalan dengan pandangan kosong dan menangis di tengah hujan yang lumayan
deras. “Inggo.. Ya setidaknya aku telah mengetahui namanya” kataku lirih.
“Ah,
hujannya sudah reda ternyata” kataku lirih sambil melihat keatas. Tampak payung
berwarna biru tosca telah melindungiku dari derasnya hujan. “Apa kau tak bisa
menggunakan payungmu di kala hujan deras seperti ini?”. Suara yang lagi-lagi
tak asing di telingaku. Aku hanya bisa terus memandanginya. Aku terkejut, dan
sontak memeluknya. Aku tahu wajahnya begitu terkejut melihatku yang langsung
memeluknya begitu saja. “Apa kau baik-baik saja Dan?” tanyanya lembut. Aku melepaskan
pelukanku, dan wajahku begitu memerah. “Dania?” panggilnya. Aku menganggukkan
kepalaku. “Kau mengikutiku?” tanyaku penuh harap. Ya jujur saja, aku memang
mengharapkan jawaban “iya” darinya. Dan benar, dia menganggukkan kepalanya,
“Aku memang mengikutimu dari halte tadi. Kamu nggak bawa payung?” tanyanya.
Dari situlah aku sadar, bahwa yang berada di hadapanku sekarang bukanlah Inggo.
Aku ingat watak Inggo yang begitu dingin juga pendiam. Dan tiba-tiba saja tubuh
Angga terlihat menjadi dua. Bahkan kakiku serasa tak kuat menyangga tubuhku sendiri,
hingga akupun terjatuh di bahu Angga.
Angga
Aku
membuka kedua mataku, dan berusaha beranjak dari tempat tidur. “tulit” suara
pintu bergeser itu membuatku menoleh ke arah Angga yang baru saja masuk dan
membawakan segelas air putih dan sup krim. “Dania? Kau sudah sadar?” katanya
sambil tersenyum padaku. “Apa sekarang aku sedang berada di rumahmu kak?”
tanyaku. Dia meletakkan makanan dan minuman tadi di meja tidur. Lalu dia duduk
disampingku sambil tersenyum. “Iya, sekarang kamu sedang dirumahku.” Aku
melihat tubuhku sejenak, “Hey! Baju siapa ini?” aku terkejut melihat baju yang
aku kenakan, dan menutupi tubuhku dengan selimut. Aku menatap sinis dan sedikit
menjauh darinya. “Haha, itu baju adikku, Bella.. Tenang saja, ia yang
menggantikan bajumu juga, bukan aku” katanya sambil tersenyum. “Eh, kakak udah
bangun? Maaf ya kak, tadi aku mengganti baju basahnya kakak” tiba-tiba adik
Angga yang bernama Bella itu masuk ke kamar. Aku menganggukkan kepalaku dan
tersenyum. “Kalau sudah mau pulang, sebaiknya kamu makan dulu ya. Kau pulang
mengenakan baju Bella dulu juga tidak masalah, iya kan Bella?” Angga menatap
Bella, “Iya kak, tenang saja. Kau juga bisa mengembalikannya kapan saja?” kata
Bella sambil tersenyum padaku. “Yasudah, aku keluar dulu ya. Bella, temani kak
Dania ya” pinta Angga yang dibalas anggukan dan senyum dari Bella.
Aku
tertegun melihat mereka. Aku heran mengapa mereka begitu baik dan manis, dan
begitu kontras dengan watak Inggo. Bahkan Angga baru mengenalku tadi. Aku
melihat sekelilingku, ruangan yang terbilang luas, dengan perpaduan cat
berwarna merah muda dan ungu muda, dan furniture yang juga terbilang cukup mewah
membuatku bergeming “Subhanallah” dalam hati. “Kakak, perlu aku suapi?” tanya
Bella. “Tidak, tidak perlu. Lagipula kakak tidak lapar kok” jawabku sambil
tersenyum. “Kakak kekasihnya kak Angga ya? Kakak cantik ya” katanya sambil
tersenyum. Aku terkejut dan menggelengkan kepalaku. “Mungkin kakak akan
terlihat lebih cantik apabila tidak mengenakan jilbab” sambungnya lirih. “He?” aku sedikit terkejut dengan
perkataannya, “apa dia non muslim?” pikirku dalam hati. Aku mencoba
menyembunyikan keterkejutanku dan menjelaskannya, “Kakak berjilbab karena kakak
menginginkannya, kakak juga merasa lebih nyaman mengenakan jilbab.” “Mm, kalian
non-muslim ya?” sambung tanyaku dengan sedikit hati-hati. Dia menganggukkan
kepalanya. Seketika suasana kita menjadi sedikit canggung, dan beberapa saat
setelah aku menghabiskan makananku, “Ibumu ada? Atau ayahmu? Kakak ingin
berpamitan dan berterima kasih” kataku. “Mereka di Paris kak. Disini hanya ada
kami bertiga dan bibi (pembantu)” ujarnya lirih. Aku dapat merasakan sedikit kesedihan
dan kesepiannya, sayang aku terlalu bingung harus mengatakan apa untuk sedikit
membuatnya terhibur. “Kakak akan main kerumah lagi kan? Entah kenapa aku merasa
begitu nyaman ketika bersama kakak. Kakak seperti ibuku. Cantik, lembut dan
beraura hangat” katanya. “Kamu juga, Bella. Cantik, sopan dan baik. Iya, insyaallah
kakak akan mampir ke rumahmu lagi.” ujarku sambil mencubit pipi Bella yang
chubby. “Oh iya, mana kak Angga? Aku mau pamit sekarang saja” tambahku sambil
beranjak dari dudukku.
Baru saja
aku beranjak dari dudukku, Angga sudah berdiri di depan pintu kamar, “Kau sudah
mau pulang? Aku antar saja ya? Ini kan masih hujan juga” tawar Angga. “Ehm, kak
Angga sudah disana ternyata. Yasudah, kak Dania, aku keluar dulu ya” ujar Bella
sambil tersenyum lebar padaku. Setelah Bella keluar dari kamar, aku menjawab,
“Aku rasa tak perlu kak. Kalau boleh, aku pinjam payung kakak saja.” “Kau yakin
tak perlu kuantar? Hari juga sudah mulai gelap Dania” tawarnya lagi. aku hanya
menganggukkan kepalaku dan tersenyum. Angga pun meminjamkan payungnya padaku.
Dia dan Bella juga mengantarku hingga ke depan pagar rumahnya. “Terimakasih
atas bantuan kalian Kak Angga, Bella. Aku berhutang pada kalian” pamitku. “Aku
senang bisa membantumu” jawab Bella dan Angga bersamaan. Kubalikkan tubuhku dan
mulai berjalan. “Dania!” teriak Angga. Aku menghentikan langkahku dan menoleh.
“Aku benar-benar tak bisa membiarkanmu berjalan sendiri. Setidaknya aku akan
mengantarmu hingga halte.” Pintanya. “Tidak kak, aku sudah cukup merepotkanmu
dan adikmu untuk hari ini” tolakku dengan sedikit hati-hati. Kutundukkan
sedikit tubuh dan kepalaku sambil tersenyum tandaku akan meninggalkannya.
Sesampainya
di halte, aku menunggu bis yang tak kunjung datang. Hingga teleponku berdering,
“Kamu dimana Dania?” tanya seorang wanita setengah baya dari telepon. “Aku
masih di halte bu, tadi ada latihan musikal di kampus” jawabku. Aku terpaksa
membohongi ibuku karena takut membuatnya khawatir. “Oh, yasudah nak, hati-hati
ya. Disini hujannya begitu deras” katanya lembut. “Baik bu, aku tutup telponnya
sekarang. Assalamualaikum” Kataku lalu kuputus sambungan teleponku dengan ibu.
Setelah itu, ada mobil cooper berwarna putih-hitam-merah berhenti tepat di
depanku. “Dania? Sedang menunggu bis?” tanya seorang laki-laki sambil membuka
kaca jendela mobilnya. Aku mecoba mengingat sesosok lelaki yang berada di dalam
mobil, “Revan?” tanyaku sedikit khawatir. Dia teman dekatku sejak SMP, namun
ketika SMA ia meninggalkan tanah airnya untuk melanjutkan pendidikannya di Paris.
“Kau masih sama dengan yang dulu, hanya tambah tinggi saja. Dan tentu, semakin
cantik” katanya “Ayo masuk. Aku akan mengantarmu pulang” tambahnya sambil
membukakan pintu untukku. Aku diam sejenak, lalu kuterima tawarannya dan masuk
ke dalam mobilnya.
Di
perjalanan, kami bercerita banyak hal. Dan ternyata kini ia yang mencoba
mengurus perusahaan ayahnya sambil kuliah di jurusan “manajemen akutansi” dan
“seni” di Paris. Maklum, Revan memang anak yang paling jenius yang pernah aku
temui. Bahkan IQ nya mencapai 275 lebih. Dia juga merupakan anak tunggal dari
pemilik perusahaan agensi entertainment “Dreams World” yang sudah begitu
melekat di jagad hiburan Indonesia. Sesampainya dirumah, aku meminta Revan
untuk mampir sebentar. Setidaknya, ia berpamitan pada ibuku terlebih dahulu.
“Assalamualaikum” ujar kami bersamaan. “Waalaikumsalam” jawab ibu sambil
berjalan keluar. “Dania, sudah pulang nak” kata Ibu lembut. Kucium tangan dan
kedua pipi ibu. “Ini Revan nak?” tanya ibu sambil tersenyum lebar. “Iya, bu
saya Revan. Apa kabar ibu? Sudah lama ya Revan tidak datang kerumah?” sapa
Revan ramah sambil mencium tangan ibuku. Aku tersenyum melihat mereka.
Esoknya,
aku pergi ke kampus untuk mengurus beasiswa yang kudapatkan karena prestasiku
yang cukup banyak. Hampir sejam telah berlalu, aku lega telah menyelesaikan
semuanya. Dan tak terasa waktu dzuhur telah tiba, aku segera bergegas ke masjid
untuk melaksanakan shalat berjamaah. “Dania!” aku menoleh ke sumber suara, aku
melihat Angga melambaikan tangannya padaku lalu mendekatiku dengan setengah
berlari.“Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Angga. “Aku jauh lebih baik
sekarang” jawabku. “Terima kasih ya” kataku lagi. Dia tersenyum manis sekali.
“Dania!” panggil Revan tiba-tiba. Aku dan Angga menoleh bersamaan ke Revan. Dia
berjalan mendekati kami sambil tersenyum lebar. “Assalamualaikum” sapanya. Aku
tersenyum lalu menjawab sapaannya, “Waalaikumsalam, ada urusan apa kau kemari?”
tanyaku. “Kau tak suka melihatku disini?” ketusnya. “Bukan begitu, maksudku..”
belum selesai kuberkata, ia menambahkan, “Aku akan melanjutkan studiku disini
Dan” “Apa? Lalu bagaimana dengan studi mu di Paris? Akankah kau lepaskan begitu
saja?” aku benar-benar tak habis pikir dengan keputusannya. Namun, ia tak
menjawab. Ia hanya tersenyum. Dan aku pun tak mendesaknya untuk menjawab
pertanyaanku tadi. Angga yang sedari tadi hanya diam melihat kami
berbincang-bincang akhirnya membuka mulutnya, “Mm, Dan, aku pergi dulu ya. Oh
iya, aku rasa cuaca hari ini mendung lagi, jaga dirimu. Jangan berjalan dibawah
air hujan tanpa pelindung.” Aku jadi teringat payung yang ia pinjamkan padaku.
“Ah iya kak! Aku lupa membawa payungmu kemarin. Kalau boleh tau besok kak Angga
ada mata kuliah jam berapa?” tanyaku. Ia tersenyum, “Nanti aku hubungi” dan
melangkahkan kakinya pergi menjauh dari aku dan Revan. Revan menatap Angga
curiga. “Kau kenal dimana orang seperti itu?” tanyanya sinis. “Ha? Maksudmu Kak
Angga? Dia seniorku disini. Aku semester 3 dan ia semester 5. Kenapa?” jawabku
sedikit bingung dengan perubahan ekspresi wajah Revan. “Yasudahlah, aku mau
shalat dulu di masjid. Kau mau ikut?” ajakku. “Hm” jawabnya sinis.
Drama Musikal
“Dania!”
panggil Sinta. Sinta adalah seniorku sekaligus wakil ketua UKM Musikal di
kampusku. “Iya kak?” “Tiga bulan lagi, kampus kita akan merayakan ulang
tahunnya yang ke 17. Dan UKM kita terpilih sebagai 3 UKM pilihan terbaik dari
kampus yang akan pentas di perayaan ulang tahun kampus kita nanti.” “Benarkah?
Alhamdulillah, itu benar-benar berita bagus” senangku. “Jadi, nanti kumpul di
ruang musikal jam setengah 4 sore ya” kata Sinta yang kubalas dengan anggukan
dan senyuman. Sinta pun meninggalkanku.
“Assalamualaikum”
Revan menyapaku, “Waalaikumsalam” balasku. “Kau mau kemana? Bukankah kuliahmu
hari ini sudah selesai?” “Iya, tapi aku ada kumpul UKM Musikal sore ini”
jawabku. “Oh, kamu ikut UKM Musikal? Wah berarti kita sama-sama akan maju ke
perayaan ulang tahun kampus kita dong” katanya senang. “Ha? Kamu ikut UKM
Musikal juga?” tanyaku kaget. “Tidak, aku ikut UKM Musik. Bukankah ada 3 UKM
yang maju ke perayaan ulang tahun itu? UKM Musikal, UKM Musik dan UKM Magic?”
tanyanya. “Oh, benarkah? Jadi 3 UKM yang dimaksud Kak Sinta itu” kataku. “Kak
Sinta?” tanya Revan. “Iya, dia senior kita sekaligus wakil ketua UKM Musikal
disini. Sepertinya dia satu fakultas denganmu, bahkan satu jurusan.” Ujarku
menerka-nerka. “Ah, begitu..” jawabnya lesu. “Kamu fakultas ekonomi bisnis
jurusan manajemen kan?” tanyaku bingung. Dan ia malah meninggalkanku. “Eh,
Revan?” aku memandangnya heran. Dan ketika ku akan mengejarnya, Iska
memanggilku dan mengajakku langsung masuk ke ruang Musikal.
“Baiklah,
untuk sebelumnya saya akan mengenalkan anggota baru UKM Musikal kita, Inggo
silahkan masuk” kata Kak Sinta. “Inggo?” bisikku. “Hai, aku Inggo. Aku anggota
baru, mohon bantuannya” katanya sambil tersenyum. Dan tepuk tangan memeriahkan
perkumpulan UKM Musikal kali ini. Setelah Kak Sinta menjelaskan tentang apa
yang akan dipentaskan dalam perayaan ulang tahun nanti, Kak Sinta pun meminta
kawan-kawan sekalian memilih tokoh utama wanita dan pria melalui penulisan nama
di kertas yang telah disediakan. “Baiklah, tokoh utama wanita diperankan oleh Dania.
Dan tokoh utama pria dimainkan oleh Inggo. Hasil telah disepakati semuanya dan
tanpa kecurangan apapun. Sehingga hasil ini tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun”terang Kak
Sinta. “Apa? Aku? Inggo? Benarkah?” pikirku tak percaya. “Semangat untuk kita”
Inggo mendekatiku dan menyalamiku. Aku tetap dalam keterkejutanku, hingga Sinta
memintaku dan Inggo untuk memulai latihannya disaat itu juga.
“Aku
benar-benar tak sanggup untuk melihatmu bersamanya,, ingin sekali kurenggut
dirimu darinya.. Namun, kusadar akan perbedaan kitaa” ekspresi Inggo begitu
nyata. Sorot matanya seakan memiliki makna yang sama dengan apa yang diharapkan
oleh sang sutradara. “Cut! Fantastik Inggo! Aktingmu terasa begitu nyata!” puji
Miko. “Puji Tuhan,” sahutnya gembira. “Kak Miko, apa musikal kita perlu VCR
seperti ini? Bukankah biasanya kita langsung mementaskannya di panggung?”
ujarku tiba-tiba. “Mmm, begini, pementasan musikal kita kali ini akan sedikit
berbeda dengan yang lalu. Fungsi VCR ini adalah untuk memberikan sedikit bocoran
tentang alur cerita musikal kita yang dimana VCR kita ini nanti akan diiringi
oleh UKM Musik” jelas Miko. “Perpaduan UKM Musik dan Musikal? Bukankah lebih
baik kita memakai musik musikal kita sendiri? Maksudnya, begini. Bukankah ini
kali pertama kita bertemu UKM Musik di suatu pementasan resmi nan mewah?
Setidaknya biarkan UKM kita masing-masing menunjukkan kemampuannya sendiri.
Jangan dipadukan, supaya kita saling mengetahui apa kelebihan dan kekurangan
kita?” jelasku panjang lebar. Suasana hening sejenak, hingga Inggo pun berdiri
dan berkata, “Aku rasa aku memiliki kesamaan pendapat dengan Dania. Maksudku
alangkah baiknya apabila kita menunjukkan apa yang kita miliki sekarang ini.
Lagian kita bisa menghindari komentar yang berbau membandingkan. Misal, ‘wah
ukm musikal ini tak akan menjadi sebagus ini tanpa komposer dari ukm musik’
atau bahkan sebaliknya, ‘ukm musik takkan mampu berjuang diatas panggung tanpa
ukm musikal’. Iya kan?” “Mm, aku rasa kau benar. Bagaimana Miko?” tanya Santi.
“Ah, yang benar saja! Itu takkan mungkin terjadi. Kau berlebihan Dania, dan kau
Inggo.. Kau ini pemain awal, jadi kau tak tau apa-apa tentang UKM ini!” Miko
sang ketua UKM Musikal pun marah dan meninggalkan kami. Santi terkejut dengan
apa yang terjadi, “Baiklah pertemuan kita cukup sampai disini dulu ya” jelas
Santi. “Apa-apaan ini? Yang benar saja, aku telah mengamati UKM ini selama 2,5
tahun” gerutu Inggo. Aku menoleh ke arahnya, “Apa? 2,5 tahun kak?”tanyaku
tiba-tiba. Ia hanya memandangku kesal dan berjalan meninggalkanku.
Cinta Pertama Miko
“Miko,
kau tak seharusnya seperti itu. Kalau kau tak sependapat dengan mereka kau bisa
menjelaskannya baik-baik tanpa emosi seperti itu. Atau jangan-jangan kauu...”
Santi mencoba menenangkan Miko. Miko terus berjalan tanpa memedulikan kata-kata
Santi. “Miko, aku tau mungkin ini sulit untukmu, tapi bukan berarti kau terus
memusuhinya. Dia salah satu anggota cast terbaik di UKM kita. Jadi cobalah
untuk lebih profesional!” Santi terus mencoba menenangkan Miko, namun Miko
tetap tak menoleh pada Santi. “Miko! Jangan karena Dania pernah menolakmu tiap
ia bertanya atau menyampaikan pendapatnya yang tidak sejalan denganmu kau terus
emosi seperti itu!” bentak Santi. Kedua tangan Miko mengepal, seperti ada duri
yang menusuk hatinya, “Aku tau San, aku tau! Kau tak perlu memberitahuku pun
aku tau! Aku telah mencoba segala hal untuk menutup luka lama itu, tapi itu
akan membutuhkan waktu lama. Ditambah kita dalam satu UKM yang sama”
“Aku mengerti. Tapi cobalah
untuk bersikap lebih dewasa, Miko. Lagipula kau adalah ketua di UKM Musikal
ini, dan kemajuan UKM kita juga akan bergantung daripada kebijakanmu sendiri.”
jelas Santi. “Akan kucoba” katanya sambil berlalu meninggalkan Santi.
“Apa sore ini akan turun hujan lagi? hmm” gerutuku sambil
melihat langit dan terus menyusuri jalanan. ‘Oh,
i love you love you, you love me love me, ara neol hyanghan naye maeumeul..’
handphone ku berdering, “Assalamualaikum, Ini Dania” sapaku. “Aku dirumah
sekarang, kalau kau ingin mengembalikan payungku, segera datang kerumahku saja”
jawabnya. “Eh? Baiklah. Aku kerumah kakak sekarang, aku tutup telponnya kak”
kataku. “Eh, tunggu! Kamu dimana sekarang?” tanyanya. “Aku di halte dekat
kampus kak, mungkin setengah....” belum selesai aku menjawab ia menyela,
“Baiklah kau tunggu disana saja. Jangan kemana-mana, aku akan menjemputmu”
“Tapi kak” sela ku yang tak sempat kuucapkan karena ia telah memutuskan
telponnya. Akupun mengikuti permintaan Angga untuk menunggunya di halte. “Kau
naik bis juga?” tanya seorang lelaki yang kemudian duduk disampingku. Aku
menoleh kearahnya, dan aku benar-benar terkejut, “Kak Inggo?” kataku terbata.
“Kau kenapa? Apa aku tampak aneh? Pasti kau berpikir aku berkepribadian ganda
ya?” tanyanya sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk pelan, “Mm, kakak juga naik
bis?” tanyaku balik. “Mm” jawabnya tanpa memandangku. “Lagi-lagi kau seperti
itu kak?” tanyaku dalam hati sambil menghela nafas. Kedaan hening untuk sesaat
hingga ada mobil sedan berwarna putih yang berhenti di hadapan kami. “Inggo?”
kaget Angga. “Kak? Sedang apa kak Angga disini?” tanya Inggo lalu melirik ke
arahku. “Sejak kapan kau mulai pulang ke rumah naik bis?” Angga berbalik tanya.
Inggo hanya diam dan meninggalkan Angga. “Inggo!” panggil Angga yang turun dari
mobilnya. “Hey! Inggo!” Meski begitu, Inggo tetap berjalan tanpa menoleh ke
kakaknya lagi. “Apa-apaan dia ini?” tanyaku dalam hati sambil memandang
punggung Inggo yang semakin menjauh.
Inggo’s Feeling
“Apa dia kesana untuk menjemput Dania?” pikir Inggo dalam
hati. “Itu berarti, apakah kak Angga memiliki rasa untuknya?” tambahnya. Ia
mengepalkan tangannya dan menghentikan langkahnya. Kini ia berada di pinggir danau buatan yang
sepi tak jauh dari kampusnya. Ia duduk sambil terus mengepalkan tangannya. Ia
teringat akan cinta pertamanya yang bertepuk sebelah tangan di masa lalu. “Kau
boleh saja mengambil hati Luna ketika itu, tapi kali ini aku takkan membiarkan
hal itu terulang lagi” bisiknya yang mengepalkan tangannya semakin kuat. “Aku
yang menemukannya pertama kali, dan aku pula yang telah memerhatikannya
belakangan ini” “Argh! Kenapa semua orang selalu memandangmu hebat ha?!” teriak
Inggo yang mulai menitikkan air mata. “Aku terus hidup di bayanganmu, aku terus
dibandingkan dengan dirimu, semua yang seharusnya menjadi milikku pasti
berpaling padamu! Apa aku tak pantas memiliki semua yang aku inginkan Tuhan?!”
kesalnya.
Air hujan
mulai turun dengan derasnya, sederas air mata yang juga keluar sebagai luapan
amarah Inggo. “Maafkan aku yang tak pernah mengatakan hal ini padamu, tapi
sudah lama aku menyimpan rasa terhadap kakakmu, Angga” kata-kata Luna, cinta
pertama Inggo kini terus mengiang di telinganya. Tak hanya itu, kata-kata ayahnya yang cukup tak
enak didengarpun ikut berdengung di telinganya, “Inggo! Apa kau tak bisa
melakukan hal yang bisa membanggakan orang tua mu?! Lihat Kak Angga! Ia tak
pernah absen untuk menjadi juara kelas!” “Ya, aku memang tak sebaik Kak Angga!
Aku selalu berada di bawah bayangan Kak Angga! Dan aku tak pernah berada satu
langkah di depannya!” teriak Inggo yang frustasi dan membuang jauh batu yang
ada di sebelahnya.
“Kau
baik-baik saja Inggo?” seorang gadis cantik menepuk bahu Inggo yang benar-benar
frustasi, ia lalu duduk disamping Inggo, “Sudah kuduga, kau masih belum dewasa”
katanya sambil tersenyum. “Apa maksudmu? Sejak kapan kau ada disini?” tanya
Inggo tanpa menoleh kearah gadis cantik tadi yang tak lain adalah gadis yang
memeluknya di halte. “Inggo, seandainya kau bisa lebih dewasa mungkin dulu aku
takkan bersikap seperti itu padamu. Aku benar-benar minta maaf” kata gadis itu
sambil terus memamerkan senyum manisnya. “Ck, aku pergi” kata Inggo sambil
beranjak dari duduknya, “Tenanglah Inggo, aku hanya ingin mengatakan sesuatu
yang sedari dulu ingin kuungkapkan padamu, jujur saja, kini ku mulai menyadari
bahwa ketika itu rasaku terhadap Angga dulu hanya sebatas obsesiku semata. Aku
mohon maafkan aku, aku” kata gadis itu sambil menahan tangan Inggo. “Maaf Luna,
aku benar-benar dalam suasana hati yang buruk. Kuharap kau bisa mengerti” Inggo
pun melepaskan tangan Luna dan menjauh. “Inggo!” Luna beranjak dari duduknya,
dan Inggo pun menghentikan langkahnya. Ia menoleh sekali lagi pada Luna, “Aku
mencintaimu Luna” kata Inggo dengan tatapan serius dan dibalas senyum sumringah
Luna. “Dulu” kata Inggo, “Jadi, jangan pernah kau muncul di hadapanku lagi,
karena sampai kapanpun rasa itu takkan pernah kembali” lanjut Inggo lalu
membalikkan badan dan berjalan menjauhi Luna.
“Inggo! Aku
tahu kau kini menyukai gadis yang di halte itu ! Dan kejadian di halte itu
adalah skenario kita! Tapi ingat Inggo, ia tak seiman denganmu! Bahkan
sainganmu bukan hanya saudara kembarmu sendiri?!” teriak Luna. Inggo yang tak
menoleh hanya menggerutu, “Dasar gadis bodoh! Sudah berapa kali kau katakan hal
itu?!” dan ia pun membalikkan badannya. Ia berjalan ke arah Luna dengan tenang,
ia menatap kedua mata Luna yang berkaca-kaca. “Kau menjadi satu-satunya saksi
perasaanku ini, dan aku yakin kau akan baik-baik saja. Kau paham kan? Lagipula,
seperti katamu tadi aku masih kekanakan. Untuk apa kau menghalangiku seperti
ini?” Luna hanya terdiam. “Aku pergi” kata Inggo acuh. Melihat Inggo yang terus
berjalan dan tak berbalik lagi, Luna menitikkan air matanya yang tak terbendung
lagi. Ia memukul dadanya berkali-kali, “Apa ini yang kau rasakan ketika kau mengetahui
hubunganku dengan Angga? Maafkan aku Inggo” tangisnya semakin menjadi hingga
kedua kakinya pun turut tersimpuh.
*Di mobil Angga,
“Apa seburuk itu hubunganmu dengan Kak Inggo?” tanyaku
hati-hati untuk memecahkan keheningan di antara kami. Dia hanya tersenyum, “Ini
semua hanya salah paham” katanya. “Maksudnya? Kalau begitu kenapa kau biarkan
ia salah paham?” tanyaku heran. “Karena suatu saat nanti aku yakin dia akan
sadar dengan sendirinya” katanya santai sambil tersenyum padaku. Aku terdiam sesaat.
“Terkadang seseorang memang selalu berusaha mencari yang terbaik dalam
hidupnya, namun tak jarang juga kita menemukan seseorang yang malah akan hanya
berkutat dalam masalahnya sendiri tanpa memiliki hasrat untuk menyelesaikannya”
kataku tiba-tiba. Aku tau Angga mengerti apa yang kumaksudkan, namun dia hanya
diam memandangku. Dan untuk beberapa saat suasana kami begitu canggung. “Bella
merindukanmu, Dania” kata Angga tiba-tiba. “Eh?” aku menoleh kearahnya,
“Maksudnya?” tambahku. “Dia sekarang sedang sakit dan Mama masih belum bisa
pulang ke Indonesia. Sedangkan Bella benar-benar membutuhkan perhatian dari
sesosok ibu.” Jelas Angga. Aku termenung, “Kalau begitu kenapa kau tak
menghubungi saudaramu yang ada disini?” tanyaku. “Kebanyakan saudara kami berdomisili
di luar negeri” jawabnya.
Tak lama kemudian, kita sampai di rumah Angga. “Oh, sudah
pulang kak? Heh kau bolos kerja lagi? Pantaslah,” ketus Inggo yang berdiri
tepat di depan pagar. “Iya, kakak sudah keluar dari tempat kerja kakak. Kau
tadi kemana? Bukankah tadi lebih baik kau pulang bersama kami?” jawab Angga
dengan senyumnya. Inggo terdiam dan melirik kearahku dengan pandangan yang
kurang menyenangkan, “Tidak, aku hanya ingin mengembalikan payung Kak Angga
kok. Ini kak payungnya” kataku sambil menyerahkan payungnya. Aku benar-benar
tak tahu harus berbuat apa disana, hingga aku berpura-pura melihat jam, “Oh,
sudah sore sekali rupanya. Kak, aku pulang dulu ya” pamitku, “Tunggu Dan,
bukankah kamu belum sempat menjenguk adikku, Bella?” cegah Angga. “Biarkan
saja, dia benar. Ini sudah sore kak” celetuk Inggo. “Besok aku kesini deh kak,
kebetulan besok aku juga nggak ada kuliah kok” kataku sambil tersenyum. “Aku
antar ya” pinta Angga. “Tak perlu kak, terima kasih tawarannya.” Jawabku. “Permisi
Den Angga ada telpon dari tuan” kata bibi yang keluar menghampiri Angga. “Oh,
iya bi suruh tunggu dulu sebentar” katanya, “Baiklah hati-hati di jalan ya
Dania” tambahnya yang kubalas dengan anggukanku.
Angga dan bibinya pun masuk ke dalam rumah. Namun tidak
dengan Inggo. Ia masih tegak berdiri di depan pagar dan memandang langit kelam.
“Sepertinya sore ini mendung, biarkan aku mengantarmu” kata Inggo. “Ada apa
dengan bocah ini?! Tadi memintaku pulang sekarang menawarkan tumpangan,”
pikirku dalam hati. Inggo mengeluarkan kunci mobilnya dan mengantarkan Dania.
“Ayo, masuk!” pintanya. “Aku ingin mengatakan sesuatu padamu di perjalanan
nanti” katanya dengan suara yang sedikit lirih. “Baiklah,” jawabku singkat.
Selama perjalanan, kami sempat terjebak di saat-saat yang
begitu canggung sambil mendengarkan lagu Really by Song Joong Ki. “Dulu, ketika
kami berusia 13 tahun, kami pernah menyukai satu gadis yang sama. Awalnya, kami
bertiga hanya sekedar sahabat yang saling mengisi. Ya, kami kira kami hanya
sebatas sahabat. Namun, suatu ketika ketika aku dan Kak Angga mengalami
kecelakaan..” Inggo memulai percakapannya denganku yang kemudian terdiam
sejenak. Aku menoleh kearahnya, kutatap wajahnya dan akupun dapat merasakan ada
luka di dalam hatinya. Ia melambatkan laju mobilnya, lalu memarkir mobilnya di
pinggir jalan. Ia menundukkan kepalanya, “Aku, aku terluka parah ketika itu,
sedangkan Kak Angga hanya mendapati beberapa luka ringan. Dan gadis itu, gadis
itu hanya memberikan perhatiannya pada Kak Angga. Awalnya, aku berpikir
positif. Ya, karena kami sahabat dan aku terluka parah mungkin ia berpikir
bahwa lebih baik ia tak menggangguku. Dan aku berpikir bahwa ketika itu aku
hanya merasakan kecemburuan sosial belaka, tidak lebih.” Suara Inggo mulai
terbata dan aku terus mendengarkan ceritanya dengan seksama, “Waktu terus
berlalu, dua tahun kemudian aku baru menyadari perasaanku, dan di usia 15 tahun
itu aku mengungkapkan perasaanku padanya. Dan satu hal yang tak pernah kuduga,
ternyata ia telah menjadi kekasih Kak Angga. Aku terus berpikir bahwa aku ini
sangatlah bodoh, namun disisi lain aku mulai membenci mereka. Aku benci mereka
yang tak pernah berterus terang tentang hubungan mereka. Bukankah aku juga
sahabat mereka? Meski kebencianku terhadap gadis itu lebih sedikit daripada Kak
Angga. Namun, ah!” Air mata mulai menetes deras di pipinya. “Tenanglah Kak,”
Aku menepuk pundaknya dengan sangat hati-hati. “Aku mengerti sekarang, namun
aku tak habis pikir. Kenapa Kak Inggo mau menceritakan itu padaku?” tanyaku.
“Karena, karena aku tak ingin terlambat lagi untuk kedua kalinya” katanya
sambil mengangkat kepalanya. Aku diam mencoba memahami dengan apa yang
dimaksudnya. “Aku menyukaimu, Dania. Bahkan sejak kau masih SMA” dia menatapku
tajam. “A-apa ini?” tanyaku terbata dan aku mencoba untuk mengendalikan gejolak
di dadaku. “Ya, aku menyukaimu. Aku telah memerhatikanmu sejak kau sering
bermain ke mall itu. Bahkan tanpa kau sadari, pertemuan kita akhir-akhir ini,
semuanya, adalah skenarioku” jelas Inggo.
“Maaf, karena aku sempat bersikap dingin padamu ketika
itu. Karena jujur ini untuk kedua kalinya aku tertarik pada seorang perempuan,
bahkan ini untuk pertama kalinya aku menyukai seseorang yang tak pernah ku
kenal sebelumnya” kata Inggo. “Skenario? Apa maksudmu kak? Mungkin, mungkin rasa itu hanya obsesi sementaramu
saja Kak, aku yakin sebentar lagi rasa itu akan hilang” kataku dengan
hati-hati. “Aku rasa tidak” jawabnya singkat. Kami terdiam, “Kau tau? Ketika
kau berjalan di tengah hujan lebat tanpa membawa payung? Sejujurnya itu juga
salah satu dari skenarioku bersama gadis itu. Dan dari situ pula, aku menyadari
bahwa kau memiliki sedikit rasa untukku. Karena itulah, karna itulah aku berani
mengutarakan perasaanku ini padamu.” Sontak pernyataan itu membuatku terkejut.
“Apa maksudmu?” tanyaku malu. “Kau akan menyadarinya nanti. Pikirkan baik-baik
dan hubungi aku setelahnya.” Kata Inggo sambil menyerahkan secarik kertas
padaku. “Baiklah, maaf telah meminta banyak waktu darimu” tambahnya. Beberapa
menit kemudian kami tiba dirumah. “Aku rasa lebih baik aku langsung pulang.
Maaf jika aku membuat hatimu merasa tidak nyaman.” Kata Inggo. “Ah, tidak
apa-apa kak. Aku baik-baik saja kok.” Jawabku sambil terus menenangkan
jantungku yang masih berdetak kencang. “Baiklah, aku pulang dulu ya Dan.”
Pamitnya. “Iya Kak, hati-hati ya” kataku.
Kebimbangan Hati Dania
“Sadarlah Dania, kau ini seorang muslimah. Kau bahkan
berjilbab” bisiknya dalam hati. “Tapi apa iya merupakan suatu hal yang tabu bila
ku menyukainya?” lanjutku, “Ya Allah, sesungguhnya kau Maha Mendengar Lagi Maha
Mengetahui, dengarkanlah curahan hati hamba ini Ya Allah dan perlihatkan hamba
petunjuk jalanMu yang terbaik YaAllah. Amin”. Ia menghela nafas, diambilnya
bantal tidurnya dikasur dan ia peluk erat, “Don’t worry! Its just a dream”
pikirku dalam hati.
“Allahuakbar Allahuakbar...” Suara adzan shubuh telah
dikumandangkan. Aku yang tak dapat tidur nyenyak pun langsung beranjak dari
tempat tidur dan mengambil air wudlu. “Sudah bangun nak? Tumben sekali kamu jam
segini sudah bangun? Biasanya kan jam 5?” tanya ibu yang baru saja selesai
berwudlu. “Iya bu, tadi terbangun sendiri. hehe.. Setelah ini ibu mau langsung
masak?” tanyaku. “Tidak nak, nanti kamu beli lauk di warung dulu ya? Ibu
rasanya tidak enak badan hari ini.” jawab ibu. “Apa perlu Denia buatkan teh
hangat bu? Kenapa ibu nggak bilang sama Denia sih?” sesalku. “Sudahlah nak,
paling ibu cuma kelelahan. Jangan terlalu khawatir.” Kata Ibu sembari tersenyum
dan berlalu meninggalkan Denia. “Maafkan
ibu nak, ibu tak ingin membuatmu lebih khawatir lagi”
pikir ibu
dalam hati sambil menahan sakit di dadanya.
“Tok, tok, tok” Denia mengetuk pintu
kamar Ibu. Ini sudah yang ke lima kalinya Denia mengetuk. Namun, tak ada
jawaban. Denia yang mulai sedikit khawatir mencoba untuk membuka pintu kamar
yang ternyata tak terkunci. “Ibu, ibu baik-baik saja?” tanyanya dengan nada
pelan dan menengok sekeliling kamar Ibunya. “Ibu?! Ibu kenapa?! Ibu? Ibu?”
Denia langsung menelpon ambulance dan memeriksa denyut nadi ibu nya. “Naaak,
maafkan ibu ya naak. Jangan menangis naak. Denia, Ramadhania Aisyah Wijayanti.
Putri yang membanggakan keluarganya. Teruskan hidupmu nak. Ibu menyayangimu.
Asyhadu Alla Illa Ha Ilallah, Waasyhaduanna Muhammadar Rasulullah” rintih ibu
sambil mengusap wajah Denia yang menangis. “Ibu, bertahanlah. Aku mohon,
bertahanlah sebentar bu.. Aku mohon.. Denia menyayangi Ibu” Tak lama kemudian,
ambulance datang. Namun sayang, nyawa Ibu Denia tak tertolong.
Komentar
Posting Komentar